Selasa, 31 Januari 2012

0

Irama Demokrasi

Kalau dianalogikan dengan aliran (genre) pada musik, demokrasi bisa diibaratkan sebagai musik Jazz. Jenis musik yang satu ini, kita tahu, selalu dimainkan dengan penuh improvisasi. Dalam memainkan sebuah komposisi, para musisi Jazz boleh dibilang tidak terikat pada partitur. Mereka bebas berekspresi dan bereksplorasi sesuka hatinya, walaupun pada kenyataannya mereka memainkan lagu yang sama.


Kebalikan dari musik Jazz tentu saja adalah komposisi Klasik. Inilah aliran musik yang sangat menjunjung tinggi ketertiban. Bukan hanya pemain, bahkan menonton pun juga ada aturannya. Para musisi wajib bermain sesuai dengan partitur dibawah arahan sang dirigen. Tidak boleh ada yang meleset. Jangan harap ada kesempatan untuk ber-improvisasi. Satu instrumen saja yang bermain menyimpang, maka seluruh orkestra yang menyusun sebuah repertoir bisa berantakan. Pendeknya, inilah aliran musik yang dimainkan dengan semangat ‘otoriter’.

Baik Jazz maupun Klasik bukanlah jenis musik untuk semua orang. Kebanyakan orang kurang menyukai kerumitan baik pada musik Jazz maupun Klasik. Mereka lebih suka sesuatu yang simpel dan gampang dinikmati. Bisa ditebak, kelompok ini lebih menyukai aliran pop atau bahkan dangdut, dimana mereka bisa santai melepas penat atau bergoyang mengikuti dendang sang biduan. Dalam hal ini, bicara soal mutu jadi tidak relevan lagi. Tidak perduli sang penyanyi bersuara fals, yang penting populer, cantik, atau punya goyangan yang yahut, dialah yang bakal menjaring banyak ‘fans’.

Dengan menganalogikan proses demokrasi dengan aliran musik, kita bisa memahami perilaku para pemilih dalam pemilihan umum yang baru saja kita lalui. Tidak sepenuhnya benar jika dikatakan bahwa masyarakat kita rindu akan masa lalu, ketika pemerintah yang otoriter berkuasa. Namun demikian, rakyat juga tidak (belum) bisa memahami hingar-bingar permainan para politisi dalam sistem yang demokratis yang berlaku saat ini.

Ketika demokrasi ditegakkan, maka rakyat punya pilihan, sistem seperti apa yang mereka inginkan, dan semuanya ditentukan lewat surat suara di sebuah even bernama pemilihan umum. Rakyat boleh saja memilih, apakah ingin diperintah dengan sistem otoriter ala musik Klasik, atau demokratis ala Jazz. Tapi kenyataannya, bagi kebanyakan orang, soal sistem tidak terlalu penting. Bagi mereka, yang penting keamanan terjamin, dan ekonomi berjalan lancar. Sebagian lagi hanya bertumpu pada sosok figur tertentu, atau semangat kedaerahan, bahkan fanatisme keagamaan. Tentang program, itu soal nomor sekian. Pragmatis atau cerminan dari masyarakat yang masih belum dewasa?

0 Responses to “Irama Demokrasi”

Posting Komentar