Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Home » Posts filed under Agama
Jumat, 03 Februari 2012
0
Fir'aun Manakah Yang Tenggelam di Laut Merah ?
Kisah mengenai Mukjizat Nabi Musa (Moses) yang membelah Laut Merah dengan tongkatnya untuk menghindari kejaran Fir'aun dan bala tentaranya tentunya sudah tak asing lagi ditelinga kita. Di kitab suci Al-Qur'an dan Alkitab, kronologi pengejaran dikisahkan begitu gamblang walaupun terdapat sedikit perberbedaan kisah diantara keduanya.
Namun yang pasti, kedua kitab suci tersebut mengisahkan kepada kita mengenai akhir yang menggembirakan bagi Musa beserta Kaum Bani Israel karena dapat meloloskan diri dari kejaran Fir'aun beserta bala tentaranya. Dan bagi sang Fir'aun, ia justru menemui ajalnya setelah tenggelam bersama pasukannya di Laut Merah.
Walaupun Al-Quran dan Alkitab sudah cukup jelas mengisahkan kronologi peristiwa itu terjadi, namun masih terdapat teka-teki mengenai siapa sebenarnya Fir'aun yang memimpin pengejaran terhadap Musa beserta kaum Bani Israel? Al-Quran dan Alkitab tidak menyebutkan secara mendetail siapakah Fir'aun yang dimaksud. Fir'aun (Pharaoh) merupakan gelar yang diberikan kepada raja-raja Mesir kuno.
Asal usul istilah Fir'aun sebetulnya merujuk kepada nama istana tempat berdiamnya seorang raja, namun lama - kelamaan digunakan sebagai gelar raja-raja Mesir kuno. Banyak Fir'aun yang telah memimpin peradaban yang terkenal dengan penginggalan Piramida Khufu-nya itu, mulai dari Raja Menes -sekitar 3000 SM, pendiri kerajaan, pemersatu Mesir hulu dan hilir - hingga Mesir jatuh dibawah kepemimpinan raja-raja dari Persia.
Sejauh ini telah banyak studi yang dilakukan untuk mengidentifikasi siapakah Fir'aun yang sedang berkuasa saat peristiwa keluarnya Musa beserta Bani Israel dari tanah Mesir. Berikut beberapa kandidatnya :
- Ahmose I (1550 SM - 1525 SM)
- Thutmose I (1506 SM - 1493 SM)
- Thutmose II (1494 SM - 1479 SM)
- Thutmose III (1479 SM - 1425 SM)
- Amenhotep II (1427 SM - 1401 SM)
- Amenhotep IV (1352 SM - 1336 SM)
- Horemheb (sekitar 1319 SM - 1292 SM)
- Ramesses I (sekitar 1292 SM - 1290 SM)
- Seti I (sekitar 1290 SM - 1279 SM)
- Ramesses II (1279 SM - 1213 SM)
- Merneptah (1213 SM - 1203 SM)
- Amenmesse (1203 SM - 1199 SM)
- Setnakhte (1190 SM - 1186 SM)
Dari daftar beberapa Fir'aun diatas, nama Ramesses II selama ini memang kerap diidentifikasikan sebagai Fir'aun yang sedang berkuasa pada saat itu. Ia merupakan sosok Fir'aun terbesar dan terkuat yang pernah memimpin peradaban Mesir kuno. Ramesses II juga merupakan salah satu Fir'aun yang paling lama berkuasa, yakni 66 tahun lamanya.
Sifatnya yang kadang tirani terhadap masyarakat kelas bawah, membuat sejarawan banyak yang berspekulasi dengan menyebutkan ia sebagai raja yang memperbudak Bani Israel. Walaupun demikian, tidak ada bukti arkeologi yang benar-benar memperkuat dugaan tersebut. Selain itu periode masa hidupnya juga dikatakan tidak cocok dengan kemungkinan terjadinya peristiwa keluaran.
Kemudian menilik ke Raja Merneptah - putra Ramesses II - yang berkuasa setelah Ramesses II mangkat, ia juga bukan merupakan Fir'aun yang dimaksud mengingat pada masa pemerintahannya, Merneptah pernah mengatakan bahwa Bangsa Israel telah tiba di tanah Kana'an. Itu artinya, peristiwa keluarnya Musa beserta Bani Israel telah lama terjadi sebelum ia berkuasa. Lalu bagaimana dengan Seti I, ayah dari Ramesses II ?
Bagaimanapun juga, ahli sejarah Alkitab mengatakan peristiwa keluaran ini terjadi disekitar 1400 SM, itu jauh dari masa pemerintahan Seti I. Beberapa Sejarawan yang menggunakan metode penelitian dengan cara mencocokkan kronologi di dalam catatan-catatan peninggalan Mesir Kuno dengan perkiraan waktu keluaran pada kitab suci menyimpulkan, kemungkinan peristiwa itu terjadi saat Mesir kuno dibawah pimpinan Raja-raja Dinasti ke-18.
Dinasti ke-18 mencakup beberapa raja, yakni Thutmose I (1506 SM - 1493 SM), Thutmose II (1494 SM - 1479 SM), diselingi oleh kepempinan Fir'aun wanita yaitu Ratu Hatsepsut (1479 SM -1458 SM) kemudian Thutmose III (1479 SM - 1425 SM).
Benarkah Thutmose II, Fir'aun yang tenggelam di Laut Merah?
Menurut studi yang dilakukan oleh Sejarawan Alan Gardiner, setelah kematian Thutmose I dan masa persinggahannya selama 40 tahun di Madyan / Midian, Musa memutuskan untuk kembali ke tanah Mesir tempat beliau dibesarkan. Allah menugaskan Musa untuk menyampaikan ajaran agama yang hakiki kepada Fir'aun.
Pada saat itu, Mesir dipimpin oleh Raja Thutmose II yang memperistri Ratu Hatshepsut. Thutmose II, menurut sejarah bukanlah sosok Fir'aun yang hebat, sebaliknya istrinya Hatshepsut yang banyak berperan penting bagi kemajuan kerajaan. Walaupun bukan merupakan sosok pemimpin yang dikatakan berpengaruh, Gardiner tetap meyakini Thutmose II merupakan kandidat terkuat fir'aun yang melakukan pengejaran terhadap Musa beserta kaum Bani Israel.
Hal itu dikarenakan banyaknya kecocokan dengan studi sejarah yang ia lakukan. Garnier juga menambahakan bahwa di pusara tempat berdiamnya mummi Thutmose II, hampir tidak ditemukan ornamen-ornamen dan benda-benda berharga "semewah" pusara raja-raja Mesir kuno yang lainnya. Ada kesan bahwa raja ini tidak begitu disukai dan dihormati oleh rakyatnya, sehingga mereka tak peduli dengan kematian sang Raja.
Selain itu, kematiannya yang mendadak juga menjadi salah satu alasannya. Penelitian terhadap Mummi Thutmose II yang ditemukan di situs Deir el-Bahri pada tahun 1881 mengungkapkan bahwa terdapat banyak bekas cidera di tubuhnya, dan Mummi-nya ditemukan tidak dalam kondisi yang bagus. Hal ini mungkin menandakan Thutmose II mati secara tidak wajar. Apakah cidera di tubuhnya itu akibat hempasan kekuatan gelombang Laut Merah yang secara tiba-tiba tertutup kembali? Wallahu 'alam Bishawab Al-Quran sendiri mengisahkan detik-detik terakhir kehidupan Sang Fir'aun :
Dan Kami memungkinkan Bani Israel melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah ia ;" Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israel, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". ( QS Yunus 90).
Dari ayat diatas kita dapat mengetahui bahwa Fir'aun mencoba memohon kepada Allah agar ia diselamatkan ketika air mengenggelamkan raganya. Namun sangatlah jelas bahwasannya tindakan Fir'aun hanyalah suatu kebohongan semata sebagai alasan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari maut.
Setelah sang Fir'aun tewas pada periode pemerintahannya yang tergolong singkat, besar kemungkinan jalannya roda pemerintahan diambil alih sementara oleh sang Ratu yang tak lain ialah Hatshepsut sebelum akhirnya Thutmose III naik tahta. Jika benar Thutmose II merupakan Fir'aun yang dimaksud, ada suatu kemungkinan kronologi sejarahnya menjadi demikian :
Pertama, Musa dibesarkan dilingkungan kerajaan Mesir saat Thutmose I berkuasa, dan istri Thutmose I yang menemukan bayi Musa saat hanyut di Sungai Nil. Kedua, selang puluhan tahun setelah Musa melarikan diri dari tanah Mesir karena ancaman hukuman mati akibat peristiwa terbunuhnya seorang prajurit kerajaan olehnya, ia kembali untuk menyampaikan ajaran Allah kepada Fir'aun. Namun pada saat itu mungkin Thutmose I telah meninggal dan digantikan putranya Thutmose II.
Mummi Thutmose II
Mengapa Thutmose II Diyakini Sebagai Firaun Yang Tenggelam di Laut Merah Sedangkan Mummi-nya Sendiri Berhasil Ditemukan? Pertanyaan diatas memang kerap ditanyakan. Mereka yang bertanya kebanyakan beranggapan bahwa Jasad Fir'aun tidak mungkin berhasil ditemukan apalagi dalam bentuk Mummi, sebab telah tenggelam di Laut Merah bersama bala tentaranya.
Bagi kawan-kawan muslim, Al-Quran mengisahkan kepada kita sebagai berikut: Apakah sekarang (kamu baru percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesunguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuatan Kami. (QS Yunus 91-92). Tentunya ayat diatas sudah cukup menjelaskan mengapa Allah dengan sengaja menyelamatkan jasad sang Fir'aun.
Sumber : superavideo.wordpress.com
Baca selengkapnya »
Kamis, 02 Februari 2012
0
Agnostikkah Diri Ini?
Keyakinan adalah gaya hidup. Dahulu kala, memeluk agama Kristen atau Islam adalah sebuah tindakan sosial yang rasional. Karena menjadi Kristen atau Islam selalu terkait dengan struktur sosial (siapa kaya, siapa berkuasa) pada suatu masyarakat/zaman tertentu. Kita tahu kedua agama tersebut pernah jaya pada suatu masa di bumi ini. Kristen dan Islam “menggoda” karena ada kuasa politik dan ekonomi di balik ajaran kasih dan keselamatan yang mereka tawarkan.Lalu, apa atau siapa agnostik itu? Agnostik, atheis, dan berbagai macam pandangan ketuhanan lainnya adalah “objek” yang terus diperangi oleh manusia modern pada saat ini. Tidak terkecuali para pemuka agama sendiri. Status mereka boleh kita sebut sebagai Kyai, Ustadz, Pendeta, Biksu, dan lain sebagainya, namun mereka juga manusia mengalami krisis ketuhanan yang tak terelakkan walaupun mereka merupakan abdi dari agama yang mereka anut.
Mengenai Agnostik sendiri, Wikipedia menulis, Agnostisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu —umumnya yang berkaitan dengan theologi, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa, dsb– adalah tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas. Seorang agnostik mengatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat mengetahui secara definitif pengetahuan tentang “Yang-Absolut”; atau , dapat dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan secara subjektif dimungkinkan, namun secara objektif pada dasarnya mereka tidak memiliki informasi yang dapat diverifikasi. Dalam kedua hal ini maka agnostisisme mengandung unsur skeptisisme.
Pengertian lainnya yaitu:
Agnostik adalah paham tentang bahwa di dunia ini memang benar ada suatu kekuatan besar lainnya selain kekuatan manusia. Kekuatan yang transparan, tidak tampak secara fisik, mengatur jalannya alam semesta ini dan tidak dapat dijelaskan dengan akal budi atau logika.
Banyak paham lain tentang agnostik, ada yang berkata bahwa agnostik adalah paham yang mempercayai adanya Kekuatan Besar dan Kekuatan itu adalah seperti ahli pembuat jam yang telah membuat jam begitu sempurna dan presisi serta tidak dapat rusak sehingga Ia berhenti berkreasi saat jam itu selesai dibuat dan mulai bergerak. Paham lain berkata bahwa agnostik adalah paham yang mencari, walau ia percaya akan Kekuatan Besar itu tetapi ia masih mencari apa wujud Kekuatan Besar itu.
Dari kedua pengertian diatas rasanya juga jelas apa yang dimaksud dengan agnostik itu sendiri, dan pertanyaan lainnya adalah, apa kaitan agnostik dengan atheis? Wikipedia menulis:
Agnostisisme tidak sama dengan atheisme. Agnostisisme artinya tidak mengetahui apakah Tuhan ada atau tidak. Sementara atheisme tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Jadi untuk kata pengantar rasanya sudah lengkap. Agnostik atau katakanlah manusia agnostik sudah merajalela dari tahun ke tahun.
Ada yang ingin saya tanyakan kepada semua orang di Indonesia ini:
- Kalau pun Anda seorang muslim, katolik, budhis dan lain sebagainya apakah Anda akan memahami atau akan menjadi seorang agnostik?
- Apa yang akan Anda lakukan ketika bertemu dan bergaul dengan seorang yang agnostik dan atheis?
- Kenapa Anda mengatakan diri Anda beragama?
- Apakah karena Anda memang menganut agama dan mempercayai Tuhan?
- Lalu Tuhan itu seperti apa menurut Anda?
- Apakah Anda yakin dengan agama yang Anda anut?
- Kenapa Anda menganggap diri Anda justru lebih baik dari orang lain?
- Kenapa Anda lebih suka menggosip dan apakah Anda tahu perbuatan tersebut dilarang dalam agama yang Anda anut?
- Jawab dan renungkanlah sendiri pertanyaan-pertanyaan saya di atas? Apakah benar Anda seseorang yang beragama, atau ternyata Anda adalah Agnostik?
Sumber : http://religiusitas.wordpress.com/tag/agnostik/
Baca selengkapnya »
0
Agnostik Menurut Bertrand Russell
Tidak. Seorang atheis, seperti halnya penganut Kristiani, mempercayai bahwa ia dapat mengetahui ada atau tidak adanya Tuhan. Penganut Kristiani mengatakan bahwa ia dapat mengetahui Tuhan itu ada; kaum atheis menyatakan bahwa kita dapat mengetahui Tuhan itu tidak ada. Orang agnostik menunda pengambilan keputusan, dengan menyatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menegaskan atau menolak adanya Tuhan. Pada saat bersamaan, orang agnostik mungkin mengatakan bahwa eksistensi Tuhan meskipun bukan tidak mungkin, sangat kecil kemungkinan adanya; ia mungkin menyatakan begitu kecil kemungkinan adanya Tuhan, maka Tuhan pada kenyataannya tidak cukup bermakna untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan.
Dalam hal demikian, Tuhan disingkirkan tak jauh berbeda seperti dalam atheisme. Sikapnya adalah mirip seperti filsuf yang teliti terhadap dewa-dewa Yunani Kuno. Apabila saya disuruh membuktikan bahwa Zeus dan Poseidon dan Hera dan dewa-dewi Olympia lainnya tidak ada, maka saya pasti kebingungan dalam memberikan argumen yang memadai. Orang agnostik akan berpendapat bahwa Tuhan orang Kristiani sama kecil kemungkinan adanya dengan dewa-dewi Olympia; dalam hal demikian, untuk mudahnya ia sama dengan orang atheis.
Oleh karena Anda menolak “hukum Tuhan”, otoritas apa yang Anda terima sebagai pedoman hidup?
Orang agnostik tidak menerima “otoritas” apapun sebagai mana halnya yang diterima oleh orang beragama. Dipercayai bahwa orang harus memikirkan sendiri masalah pedoman hidup. Tentu saja, ia akan mengambil keuntungan dari pengalaman orang lain, tetapi harus dipilihnya sendiri orang-orang yang dianggapnya bijak, dan sama sekali tidak akan menganggap bahwa apapun yang dikatakannya tak boleh dibantah. Teramati bahwa apa yang ditentukan oleh “Hukum Tuhan” itu selalu berubah setiap saat. Injil mengatakan bahwa wanita tiak boleh kawin dengan saudara laki-2 dari suami yang telah meninggal, dan bahwa dalam keadaan tertentu wanita harus kawin dengannya. Jika anda kebetulan seorang janda tak beranak dan masih ada ipar yang belum kawin, maka logikanya anda tak boleh menghindari “hukum Tuhan.”
Bagaimana Anda mengetahui baik dan buruk? Apakah yang dianggap Dosa oleh orang agnostik?
Orang agnostik tidak begitu pasti sebagaimana yang diyakini penganut Kristiani terhadap apa yang disebut baik dan buruk. Tidak akan diklaim seperti yang diklaim penganut Kristiani di masa lalu bahwa orang yang tak setuju dengan perintah mengenai theologi yang absurd harus menerima hukum mati yang menyakitkan. Hukum mati demikian ditentang, dan lebih hati-hati mengenai tuduhan moral.
Kata “dosa” dianggap bukan sebagai ide yang ada gunannya. Tentu saja diakui bahwa sebagian macam tindakan adalah patut dan sebagian lagi tidak patut, tapi diyakini bahwa hukuman untuk tindakan yang tidak patut hanya diterapkan jika dimaksudkan untuk menghindari atau memperbaiki, bukan karena hukuman itu memang dianggap baik dan dengan pikiran bahwa orang jahat harus menderita. Kepercayaan inilah yang ada dalam hukuman balas dendam sehingga orang menerima idee neraka. Ini adalah bagian merugikan yang telah diakibatkan oleh adanya ide “dosa”.
Apakah orang agnostik melakukan apapun asal dikehendakinya?
Dalam satu hal tidak, dilain hal siapapun akan melakukan apa yang dikehendakinya. Kalau misalnya Anda begitu membenci seseorang sampai Anda mau membunuhnya: Kenapa tidak? Anda akan menjawab: “Sebab agama mengatakan bahwa pembunuhan adalah dosa.” Namun dalam kenyataan statistik, orang-orang agnostik tidak lebih cenderung melakukan pembunuhan dari pada orang lain, dan kenyataannya kecenderungan mereka memang lebih kecil. Mereka mempunyai motif sama untuk tidak melakukan pembunuhan sebagaimana orang lain. Jauh dalam lubuk hatinya, motif paling kuat adalah takut dihukum. Namun dalam keadaan tanpa hukum, seperti demam menambang emas, segala macam orang akan melakukan kejahatan, meski dalam keadaan normal mereka adalah orang-orang yang taat pada hukum. Bukan hanya karena adanya hukuman, tapi juga ada rasa tidak nyaman mengetahui hal menakutkan itu, dan rasa sepi karena mengetahuinya, untuk menghindari kebencian orang, anda harus memakai topeng meski dengan teman terdekat anda sekalipun. dan dan ada lagi yang sering disebut “conscience”: Jika anda pernah berangan-angan untuk membunuh, anda akan takut pada ingatan yang mengerikan saat-saat terakhir tubuh korban anda tak bernyawa. Semua ini benar, ya, tergantung pada kehidupan anda dalam masyarakat yang taat hukum, tetapi banyak sekali alasan-alasar non agama/sekuler yang dipakai untuk menciptakan dan dan mengabadikan masyarakat demikian.
Saya katakan ada alasan lain mengapa siapapun akan melakukan apa yang diinginkannya. Tak seorangpun kecuali orang tolol yang menuruti segala keinginan, tetapi apa yang menahan keinginan in check adalah selalu merupakan meinginan yang lain. Keinginan anti-sosial seseorang dapat di kendalikan oleh keinginan untuk menyenangkan Tuhan, tapi dapat juga dikendalikan oleh keinginan untuk menyenangkan teman-temannya, atau mendapatkan respek penghormatan dari masyarakatnya, atau agar dapat mencitrakan dirinya sendiri tanpa rasa jijik. Namun jika tak memiliki keinginan-2 tersebut, maka satu-2 nya aturan abstrak moralitas tak akan dapat meluruskan orang itu.
Bagaimanaka anggapan orang agnostik terhadap Injil?
Orang agnostik menganggap Injil tepat sebagaimana yang dianggap oleh seorang enlightened clerics. Tidak dianggapnya sebagai inspirasi illahi; akan dianggapnya sebagai legenda sejarah awal, dan tak lebih akurat dari pada yang tertulis dalam Homer; dianggapnya ajaran moral yang terkandung didalamnya kadang baik, tapi kadang sangat buruk. Misalnya, Samuel memerintahkan Saul dalam perang untuk tidak saja membunuh tiap laki-laki, wanita, dan anak-anak lawan, tapi sampai semua biri-biri dan ternak sapinya. Namun demikian Saul tetap membiarkan biri-biri dan ternak sapi hidup, dan untuk hal ini kita disuruh mengutuknya. Saya tak pernah mampu menyenangi Elisha karena mengutuki anak-anak yang mengolok-oloknya, atau mempercayai (yang dinyatakan Injil) bahwa Dewa yang baik hati akan mengirimkan beruang jadi-jadian untuk membunuh anak-anak tersebut.
Bagaimanakah anggapan orang agnostik terhadap Jesus, Kelahiran oleh Sang Perawan, dan Trinitas yang Suci?
Karena orang agnostik tidak percaya Tuhan, tak dapat dipercayai bahwa Jesus adalah Tuhan. Kebanyakan orang-orang agnostik menghargai kehidupan dan ajaran Jesus sebagaimana ditulis dalam Injil, tetapi tidak harus melebihi penghargaan terhadap orang lain. Ada yang menempatkan Jesus sama dengan sang Buddha, sebagian dengan Socrates dan dan lainnya dengan Abraham Lincoln. Mereka juga tidak menganggap apa-apa yang dikatakannya tidak boleh dibantah, oleh karena orang Agnostik tidak menerima suatu otoritas sebagai hal yang absolute.
Orang Aganostik Menganggap Kelahiran Sang Perawan sebagai satu doktrin yang diambil dari mitologi pagan/kafir, dimana kelahiran demikian bukan hal yang aneh (Zoroaster dikatakan terlahir dari seorang perawan; Ishtar, the dewi Babylon, yang disebut sebagai the Holy Virgin/Perawan Suci). Mereka tak dapat memberikan kepercayaannya kepada hal tersebut, ataupun kepada doktrin Trinitas, karena keduanya tidak mungkin tanpa adanya kepercayaan pada Tuhan.
Dapatkah orang agnostik menjadi penganut Kristiani?
Kata "Kristiani” mempunyai berbagai makna dalam waktu yang berbeda. Selama berabad-abad sejak jama Kristus, kata itu berarti orang yang percaya apada Tuhan dan keabadian dan serta bahwa Kristus adalah Tuhan. Tetapi kaum Unitarians menyebut diri mereka penganut Kristiani meski tidak percaya akan keIlahian Kristus, dan banyak orang saat ini menggunakan kata “Tuhan” dengan arti yang kurang pas dibandingkan dengan arti jaman sebelumnya. Banyak orang yang sekarang mempercayai Tuhan tidak lagi bermakna person/manusia, atau trinitas dari person, namun hanya berupa kecenderungan kabur atau kekuatan atau maksud dan tujuan immanent dalam evolusi. Lebih jauh lagi, orang lain mengartikan “Kristianitas” hanyalah sebuah sistem etika yang dibayangkan sebagai karakter penganut Kristiani saja, karena mereka tidak peduli dengan masalah kesejarahan.
Dalam buku yang baru diterbitkan, ketika saya katakan bahwa apa yang diperlukan dunia adalah “cinta, cinta Kristiani, atau kepedulian/compassion,” banyak yang menyangka hal ini menunjukkan adanya perubahan dalam pemikiran saya, meski kenyataannya mungkin saya katakan hal yang sama kapanpun. Jika yang Anda maksudkan “Penganut Kristiani” berarti orang yang mencintai tetangganya, yang sangat bersimpati terhadap penderitaan, dan yang sangat menginginkan agar dunia bebas dari kebuasan dan kebencian yang jaman sekarang ini diabaikan, maka jelas Anda mendapat justifikasi untuk menyebut saya seorang Kristiani. Dan dalam hal ini, saya kira anda akan dapat menemukan lebih banyak “penganut Kristiani” diantara orang-orang agnostik dibandingkan dalam kalangan orthodoks. Namun menurut saya, Saya tak dapat menerima definisi demikian. Selain penolakan lainnya, namapaknya agak kasar bagi orang Yahudi, Buddhis, Muslim, penganut non Kristianilainnya, yang sepanjang sejarah ditunjukkan oleh sejarah, paling tidak cenderung untuk melakukan moralitas diklaim dengan arogan oleh penganut Kristiani sebagai unik milik agama mereka sediri.
Saya kira juga bahwa siapapun yang menyebut diri penganut Kristiani di jaman-jaman awal, dan dah sebagian besar orang yang melakukannya sampai saat ini, akan menganggap bahwa kepercayaan pada Tuhan dan immortalitas adalah essensial bagi penganut Kristiani. Dengan dasar ini, saya menyebut saya sendiri sebagai penganut Kristiani, harus saya katakan bahwa orang agnostik tak dapat menjadi penganut Kristiani. Namun jika kata “Kristianitas” ternyata digunakan secara umum dulunya hanya berarti sejenis moralitas, maka jelaslah mungkin bagi seorang agnostik untuk menjadi penganut Kristiani.
Apakah Orang agnostik menolak bahwa manusia punya Jiwa?
Pertanyaan ini tidak mempunyai arti yang tepat kecuali kita diberi definisi sari kata “jiwa”. Saya kira yang dimaksudkan secara kasar adalah sesuatu nonmaterial yang berada dalam seluruh hidup seseorang bahkan, bagi yang mempercayai immoralitas, sepanjang waktu-waktu yang akan datang. Jika yang begitu maksudnya maka orang agnostik mungkin tidak akan percaya bahwa manusia mempunyai jiwa. Tetapi akan segera saya tambahkan bahwa hal ini tidak berarti orang agnostik pasti penganut materialis. Banyak orang-orang agnostik (termasuk saya sendiri) sangat ragu pada tubuh sebagaimana ketidak tahuan mengenai jiwanya, namun ini adalah cerita lama untuk mempertimbangkan metafisik yang sulit ini. Baik jiwa maupun materi harus saya katakan adalah simbol yang mudah dalam satu diskursus, sebenarnya bukan sesuatu yang eksis.
Apakah orang agnostik percaya Akhirat, Surga atau Neraka?
Pertanyaan mengenai apakah orang akan hidup setelah mati adalah pertanyaan mengenai bukti mana yang memungkinkan. Riset fisika dan spiritualisme dianggap oleh banyak orang dapat memberikan buktinya. Orang agnostik dengan demikian tidak mempunyai pandangan mengenai kelangsungan jiwa kecuali dianggapnya ada bukti yang serba sedikit-pun. Menurut pandangan saya sendiri, saya anggap tidak ada alasan memadai untuk mempercayai bahwa kita akan hidup lagi setelah mati, namun saya terbuka untuk percaya jika ada bukti yang memadai.
Surga atau neraka adalah hal lain lagi. Percaya pada adanya neraka terikat pada adanya kepercayaan bahwa hukuman pembalasan atas dosa adalah hal yang baik, sangat terpisah dari tujuan pencegahan atau perbaikan yang mungkin dapat diberikan. Orang agnostik hampir tak percaya akan hal ini. Sehubungan dengan surga, barangkali ada bukti yang dapat diraba dengan eksistensinya melalui spiritualisme, namun kebanyakan orang-orang agnostik menganggap tidak ada bukti demikian, dan oleh karenanya tidak mempercayai adanya surga.
Apakah anda tak pernah takut pada pembalasan Tuhan karena menolak-Nya?
Tentu tidak. Saya juga menolak Zeus dan Jupiter dan Odin dan Brahma, namun hal ini tidak menyebabkan kebingungan/keraguan bagi saya. Saya perhatikan bahwa sebagian besar dari umat manusia tidak percaya Tuhan dan tidak menderita hukuman yang nyata karenanya. dan jika memang ada Tuhan, saya kira Tuhan itu tidak akan merasa tak nyaman karena ditolak eksistensinya.
Bagaimana Orang Agnostik menerangkan keindahan dan harmoni Alam?
Saya tak tahu dimana ketemunya “keindahan” dan “harmoni”. Dalam kelompok kerajaan binatang, binatang-binatang itu saling memakan. Kebanyakan dari mereka terbunuh dengan kejam oleh binatang lain atau mati pelan-pelan karena kelaparan. Menurut saya sendiri, saya tak bisa melihat keindahan luar biasa atau harmoni dalam diri Cacing Pita. Janganlah dikatakan bahwa binatang ini dikirim sebagai hukuman atas dosa-dosa kita, sebab binatang itu lebih banyak terdapat pada binatang dibandingkan manusia. Saya kira si penanya sedang memikirkan keindahan langit yang penuh bintang. Akan tetapi harus diingat bahwa bintang kadang meledak dan menghancurkan tetangga sekitarnya menjadi asap yang gelap. Keindahan, dalam segala hal adalah subyektif dan hanya ada di mata orang yang memandangnya saja.
Bagaimana Orang Agnostik menjelaskan mukjizat dan wahyu lain dari Tuhan YME?
Orang-orang agnostik beranggapan tidak ada bukti “mukzizat” dengan arti kejadian-kejadian yang bertentangan dengan Hukum Alam. Kita tahu bahwa penyembuhan dengan iman dapat terjadi dan sama sekali bukan mukjizat. Di Lourdes, penyakit tertentu dapat disembuhkan dan lainnya tidak dapat disembuhkan. Yang dapat tersembuhkan dapat saja disembuhkan oleh dokter manapun terhadap pasien yang beriman. Menurut catatan mukjizat lain, seperti Joshua yang memerintahkan Matahari agar diam, orang agnostik menolaknya dan menganggap hanya legenda dan menunjukkan bahwa semua agama penuh dengan legenda yang begitu. Sama banyaknya mukjizat yang ada pada dewa-dewa Yunani dalam cerita Homer seperti halnya Tuhan Kristiani dalam Injil.
Banyak nafsu rendah dan jahat yang ditentang agama. Jika Anda meninggalkan prinsip-prinsip keagamaan, dapatkan umat manusia terus eksis?
Adanya nafsu rendah dan jahat tak dapat ditolak, tapi tak saya temui bukti dalam sejarah bahwa agama-agama telah menentang nafsu-nafsu tersebut. Sebaliknya, malah disucikan, dan memungkinkan orang untuk mentolerirnya tanpa rasa sesal. Hukuman kejam lebih umum terjadi dalam Kristiani dibandingkan tempat lainnya. Apa yang nampak dapat membenarkan hukum mati adalah kepercayaan dogmatis. Keramahan dan toleransi hanya terjadi sejalan dengan berkurangnya kepercayaan dogmatis. Dalam jaman kita sekarang, agama baru yang dogmatis, yakni komunisme telah muncul. Untuk itu, sebagai mana terhadap sistem dogma lainnya, orang agnostik ditenentangnya.
Ciri hukum-menghukum komunisme jaman ini persis seperti Ciri hukum-menghukum Kristianitas di abad dahulu. Dengan berlangsungnya waktu, Kristianitas kurang cenderung menghukum, ini adalah hasil kerja para penganut berfikir bebas yang menjadikan penganut dogmatis berkurang ke-dogmatisannya. Jika mereka tetap dogmatis seperti jaman dulu, mereka akan tetap menganggap benar membakar orang yang tak percaya. Semangat toleransi yang dianggap oleh penganut Kristiani modern sebagaimana Kristiani, pada kenyataannya merupakan produk moderasi yang memperkenankan ketidak-jelasan dan mencurigai kepastian absolut. Saya kira siapapun yang meneliti sejarah tanpa memihak akan menuju kesimpulan bahwa agama-agama telah mengakibatkan penderitaan dari pada yang telag diselamatkannya.
Apakah arti hidup bagi Orang Agnostik?
Saya cenderung menjawabnya dengan pertanyaan lain: Apa maksudnya “arti hidup” ? Saya kira itu adalah apa yang dimaksudkan sebagai tujuan umum. Saya tidak menganggap bahwa hidup itu ada tujuannya. Cuma asal terjadi saja. Tetapi tiap individu memiliki tujuan hidup tertentu, dan tak ada alasan dalam agnostisisme untuk meninggalkan tujuan-tujuan hidup ini. Tentu mereka tidak pasti yakin akan dapat mencapai hasil yang diusahakannya; namun anda akan menganggap gila jika seorang tentara menolak tugas bertempur sampai ia yakin pasti menang. Orang yang memerlukan agama untuk menekankan tujuan hidupnya sendiri adalah orang yang ketakutan, dan saya tidak dapat menanggapnya pula sebagai orang yang mencari jalan aman, meski mengakui juga bahwa kekalahan bukan merupakan hal yang tak mungkin.
Apakah penolakan terhadap agama berarti penolakan terhadap perkawinan dan kesetiaan?
Lagi, hal ini akan dijawab dengan pertanyaan: Apakah orang yang mempertanyakan ini percaya bahwa perkawianan dan kesetiaan dapat meningkatkan kebahagiaan di dunia, atau apakah ia mengaanggap bahwa perkawinan dan kesetiaan itu, meski menyebabkan kseusahan di dunia, dipakai sebagai alat mencapai surga? Orang yang mengambil pandangan terakhir jelas tak dapat mengharapkan agnostisisme akan menyebabkan menurunnya moralitas, namun harus kita akui bahwa moralitas adalah sebab utama adanya kebahagiaan umat manusia dalam kehidupannya di dunia. Jika sebaliknya ia mengambil pandangan pertama yaitu bahwa ada argumen yang membumi untuk perkawinan dan kesetiaan, harus juga diyakininya bahwa argumen-argumen ini mesti meyakinkan juga bagi orang agnostik. Orang agnostik dengan demikian tidak mempunyai pandangan berbeda mengenai moralitas seksual. Akan tetapi kebanyakan akan mengakui bahwa, ada argumen yang shahih untuk menentang toleransi terhadap nafsu seksual tanpa kendali. Namun demikian, akan mendasarkan argumen ini pada sumber-sumber membumi yang jelas dan bukan berdasarkan dugaan perintah keilahian.
Apakah keimanan karena logika saja merupakan kepercayaan yang berbahaya?
Bukankan logika tidak sempurna dan tidak memadai tanpa hukum spiritual dan moral? Tak seorangpun yang mau memakai otak meski ia agnostik, “hanya mengimani logika saja”. Logika berkaitan dengan kenyataan, sebagian teramati, sebagian lagi disimpulkan. Pertanyaan apakah ada kehidupan masa depan dan pertanyaan apakah ada Tuhan berkaitan dengan kenyataan, dan orang agnostik percaya bahwa pertanyaan-pertanyaan itu harus diselidiki mirip dengan pertanyaan, “Apakah akan ada gerhana rembulan besok?” Namun kenyataan saja tidak cukup untuk menentukan tindakan, karena tidak diberitahukan apa tujuan yang harus kita capai. Dalam wilayah tujuan-tujuan, kita memerlukan hal lain selain logika. Orang agnostik menemukan tujuan dalam hatinya sendiri dan bukan dalam perintah dari luar. Coba kita ambil contoh: Misalkan Anda ingin bepergian dengan kereta api dari New York ke Chicago; Anda akan menggunakan logika untuk mengetahui kapan kereta api berangkat, dan orang yang mengira bahwa ia punya kemampuan mengetahui atau intuisi yang menyuruhnya agar menyesuaikan dengan jadwal akan dianggap agak bodoh. Namun tak ada jadwal yang akan memberitahu bahwa pergi ke Chicago adalah bijaksana. Jelas dalam menentukan apakah hal itu bijaksana, ia mesti memperhitungkan fakta-fakta lain; namun dibalik segala fakta, ada tujuan yang dianggapnya cocok untuk diusahakan, dan bagi orang agnostik sebagaimana orang-orang lain, hal-hal ini termasuk dalam wilayah yang bukan wilayah logika, meski tidak harus bertentangan sama sekali dengan logika. Wilayah yang saya maksudkan adalah emosi dan perasaan dan keinginan.
Apakah anda menganggap semua agama sebagai bentuk takhayul atau dogma? Agama-agama mana yang Anda hormati, dan mengapa?
Semua agama besar dan terorganisir yang mendominasi umat manusia sedikit banyak mengandung dogma, tetapi “agama” adalah kata yang maknanya tidak pasti. Sebagai contoh Confucianism dapat disebut agama, meski tidak mengandung dogma. Dan dalam beberapa bentuk kepercayaan Kristen, elemen dogma diperkecil sampai minim.
Dari agama-agama besar sepanjang sejarah, Saya lebih cenderung Buddhisme, terutama dalam bentuknya yang paling awal, sebab agama itu yang melibatkan hukuman paling minim.
Komunisme, seperti agnostisisme bertentangan dengan agama. Apakah orang-orang agnostik itu komunis?
Komunisme tidak menentang agama. Hanya menentang agama Kristiani saja, sebagaimana yang ditentang oleh agama Islam (Mohammedanism sic.). Komunisme, paling tidak dalam bentuk yang diciptakan oleh pemerintah Soviet dan Partai Komunis, adalah suatu sistem dogma baru yang maut dan banyak melibatkan penghukuman. Oleh karena itu, tiap orang agnostik asli mesti menentangnya.
Apakah orang-orang agnostik menganggap sains dan agama tak mungkin bersahabat?
Jawabannya kembali pada apa yang dimaksud dengan “agama”. Jika hanya berarti sistem etika, agama dapat akrab dengan sains. Jika hanya berarti sistem dogma, yang dianggap sebagai mutlak benar, maka hal itu tidak cocok dengan semangat ilmiah/sains yang menolak diterimanya kenyataan tanpa bukti, dan juga menganggap bahwa kepastian mutlak jarang sekali tercapai.
Bukti apa yang dapat meyakinkan Anda bahwa Tuhan itu ada?
Saya kira jika saya dengar suara dari langit yang memprediksi segala sesuatu yang akan terjadi pada diri saya dalam waktu 24 jam mendatang, termasuk kejadian-kejadian yang sangat tidak mungkin, dan dan jika hal-hal itu terjadi betul, barangkali saya dapat diyakinkan paling tidak terhadap adanya intelegensia superhuman. Dapat saya bayangkan bukti-bukti lain sejenis yang mungkin dapat meyakinkan saya, namun sampai kini setahu saya tak ada bukti demikian.
Oleh Bertrand Russell, 1953.
Diterjemahkan oleh Setya A. Sis
Sumber : http://nightxiii.deviantart.com/journal/23115650/
Baca selengkapnya »
0
Sains, Agama dan Stephen Hawking
Pertama yang harus diperhatikan disini adalah, siapa sih Tuhan? Tanpa jelas apa itu Tuhan, maka kita membicarakan sesuatu yang bisa saja berbeda. Sebagai contoh, Paijo mengatakan kalau kita ia tinggal di Bandung. Temannya, Poniran, memprotes karena ia tidak tinggal di Bandung. Tapi jelas Paijo benar, karena yang dimaksud Bandung oleh Paijo adalah rumah kapal di sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Di sana rumah kapal disebut Bandung. Poniran juga benar, karena apa yang ia maksud adalah kota Bandung, ibu kota Jawa Barat. Tapi keduanya bertengkar karena semata berbeda pengertian dari kata Bandung.
Begitu juga, Tuhan yang dibicarakan oleh Hawking berbeda dengan Tuhan yang dibicarakan oleh pemuka agama Islam, kristen, yahudi, dsb. Bagi Hawking, ia menyindir Tuhan yang dipakai sebagai penjealasan atas fenomena alam. Baginya Tuhan hanyalah sebuah alat penjelasan sementara. Anda tidak tahu petir, katakan itu amarah Tuhan. Anda tidak tahu tsunami, katakan itu cobaan Tuhan. Tuhan disini adalah pengisi kekosongan sementara. Apa yang disebut orang sebagai God of the Gap. Dan pernyataan Hawking adalah bahwa fisika sudah cukup maju sehingga Tuhan tidak muat lagi untuk diselipkan dalam bolongan-bolongan dalam kotak fenomena alam yang belum terjawab.
Di sisi lain, para pemuka agama, memiliki perbedaan konsep mengenai Tuhan. Agama kristen, jelas punya Tuhan yang berbeda dengan Agama Islam. Belum lagi Agama Yahudi dan agama lainnya yang memiliki Tuhannya sendiri-sendiri. Bagi mereka, Tuhan bukanlah alat, tapi tuhan adalah udara. Syarat utama untuk hidup, syarat untuk bernapas.
Bila anda belum mengerti perbedaan antara Tuhan yang dimaksud Hawking dengan Tuhan yang dimaksud para ulama, saya bisa menawarkan analogi disket dan Komputer. Tuhan bagi Hawking adalah disket. Buat apa disket lagi sekarang kalau kita sudah punya flash disk atau hard disk eksternal atau CD Writer yang kapasitasnya jauh lebih hebat. Lagian disket sering terjangkiti dengan virus. Sementara bagi ulama, Tuhan adalah komputer. Tanpa komputer, orang tidak akan terpikir menciptakan disket, flash disk atau hardisk eksternal.
Tapi ada kesamaan antara disket dan komputer. Keduanya sama-sama alat elektronik. Sama halnya dengan Tuhannya Hawking dan Tuhannya orang beragama, sama-sama dipandang sebagai pencipta Alam Semesta.
Sekarang, bayangkan di atmosfer kita ada sebuah debu berwarna merah. Ada tak terhitung debu di atmosfer kita. Sekarang bila kita tidak menemukan debu demikian, apakah itu berarti debu tersebut tidak ada? Bisa saja kita kurang teliti mencarinya, bisa saja kita hanya memakai sampel, bukannya populasi, untuk membuat kesimpulan tersebut. Tapi bila memang seseorang entah bagaimana berhasil menyapu bersih semua debu di atmosfer dan mengumpulkannya, melihatnya satu-satu dan tidak menemukan debu berwarna merah. Ini adalah bukti nyata kalau debu tersebut tidak ada.
Ini kembali ke pernyataan di awal paragraf : Bayangkan ada debu berwarna merah di atmosfer. Ini kontradiktif dengan kalimat terakhir yang mengatakan debu tersebut tidak ada. Bagi ilmuan, kalimat pertama di atas adalah sebuah hipotesis. Sebuah dugaan semata dan bisa dihapus oleh kalimat terakhir. Bagi orang religius, kalimat pertama adalah fakta. Kalimat terakhir tidak dapat diterima karena kontradiktif dengan kalimat pertama. Ini perbedaan antara agama dan Sains.
Sekarang sains sedang berusaha menyapu bersih semua debu di atmosfer. Sains memiliki sebuah tujuan, memahami dunia kita. Di bidang fisika, sebagai ilmu yang mempelajari realitas, maka ini berarti menemukan sebuah teori gabungan. Sebuah teori puncak. Sebuah sapu bersih terhadap debu di atmosfer analogis kita. Bila sains menemukan teori puncak ini apakah agama akan menerima seandainya sains membuktikan tuhan tidak ada? Ataukah agama akan terus hidup dalam penafsiran celah-celah kecil sekecil virus dalam teori segalanya?
Agama selama ini berusaha mendapatkan dukungan sains. Tentang terbelahnya laut merah, lapisan bumi, lapisan atmosfer, embriologi manusia, terbelahnya bulan, dsb. Walaupun telah dibantah oleh sains kalau itu salah. Tetap saja tafsiran-tafsiran baru bermunculan. Di sisi lain, sains masih banyak punya misteri untuk dipecahkan. Dan disinilah agama menyusup. Bisakah sains meramalkan kematian? Bisakah sains menjelaskan tentang ini, tentang itu. Celah ini jelas semakin lama semakin sempit.
Dua milenium lalu sains tidak mampu menjelaskan kenapa seseorang bisa sakit, sekarang berbagai jenis anti virus serta segala jenis antibiotik mencegah kita terkena infeksi kuman. Dua milenium lalu, agama menawarkan penjelasannya. Orang sakit karena kutukan, karena dosa, karena durhaka, karena cobaan tuhan, dsb. Bahkan sekarang masih ada orang yang mengatakan kalau gempa disebabkan dosa.
Demikianlah, agama seperti orang yang tidak punya harapan lagi, dan mengambil remah-remah dari sains yang semakin gemuk. Mereka mengambil sedikit ruangan kosong di halaman istana sains yang megah. Saat sang tuan rumah keluar, penghuni halaman istana ini menunjuk mengatakan kalau, hei lihat bajunya itu buatan kakek dari kakek ku dari kakekku, atau hei, gorden istananya itu buatan sepupu jauh saya.
Sains telah mengalahkan sebagian besar pertanyaan yang dulunya coba dijawab oleh agama lewat dongeng dan fiksi. Masih ada pertanyaan seperti darimana datangnya hukum fisika, apakah kita hidup di satu alam semesta yang merupakan bagian dari sebuah multi jagad, dsb.
Dengan perbedaan antara Tuhannya Hawking dan Tuhannya Agama, tampak kalau titik temu tidak akan pernah tercapai. Sebagai contoh, David Wilkinson, seorang ulama sekaligus astrofisikawan mengatakan adanya tiga ruang kosong yang bisa menjadi celah adanya Tuhan dalam pernyataan Hawking.
Tujuan Alam Semesta. Sains bisa menemukan mekanismenya, tapi masih ada pertanyaan mengenai apa tujuannya.
Dari mana datangnya hukum fisika. Sains mempelajari hukum namun tidak mempelajari darimana datangnya hukum itu.
Kecerdasan di alam semesta. Albert Einstein pernah mengatakan bahwa yang paling tidak dapat dipahami dari alam semesta ini adalah karena ia dapat dipahami. Alam semesta begitu teratur, dan ini, menunjukkan ada kecerdasan yang mengaturnya.
Richard Dawkins, biologiwan besar, mengatakan bahwa ketiga celah yang dikatakan David Wilkinson tidak perlu ada. Berikut detail penjelasannya.
Tujuan Alam Semesta
Kenapa mesti Alam Semesta memiliki tujuan? Apa tujuan dari gunung? Apa tujuan dari tsunami? Apa tujuan dari wabah bubonik? Ini pertanyaan yang konyol. Begitu juga dengan alam semesta. Banyak pertanyaan yang masuk akal. Seperti bagaimana cara kerja sel syaraf? Apa nilai keberlangsungan hidup darwinian dari ekor merak? Ada banyak sekali pertanyaan yang masuk akal, yang berusaha dijawab sains selama ini. “Apa tujuan dari X?” hanya masuk akal jika ada entitas bertujuan, seperti manusia, untuk memiliki tujuan tersebut. Tsunami tidak memiliki tujuan. Pertanyaan “Apa tujuan dari X?” tidak perlu dijawab secara ilmiah. Namun pertanyaan semacam ini memerlukan keberadaan agen. Anda tidak dapat menerapkan pertanyaan ini pada gunung atau badai, atau tsunami atau alam semesta. Bahkan seandainya benar alam semesta memiliki tujuan, lalu apa tujuannya? Apakah agama dapat menjawabnya? Akan ada banyak jawaban. Agama Islam menjawab tujuannya Islam, kristen menjawab tujuannya kristen dan yahudi menjawab tujuannya yahudi. Belum lagi agama lainnya.
Asal Hukum Fisika
Bahkan bila yang tersisa adalah pertanyaan ini, ia tidak akan dijawab oleh keberadaan Tuhan, yang justru memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Hal ini memang seperti apa yang dilakukan ilmuan. Sebuah penelitian seringkali memunculkan lebih banyak pertanyaan dari jawaban. Saat anda mengetahui mengenai asal usul medan magnet, anda bertanya tentang bagaimana mekanismenya di tingkat atom? Bagaimana keselarasan bisa tercipta antara gerak atom dengan perwujudan makro? Walau begitu, sains menarik karena memiliki banyak perangkat di dalamnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul, berbeda dengan meletakkan Tuhan di tengah jalan.
Keteraturan Alam Semesta
Seperti apa alam semesta yang tidak di atur dengan cerdas? Kenapa alam semesta harus diatur dengan kecerdasan? Disini Dawkins membuat asumsi kalau Tuhan memerlukan penjelasan, sama alasannya dengan bagaimana anda menganggap alam semesta memerlukan penjelasan. Tapi Hawking telah berusaha menjelaskan mengenai alam semesta, tinggal siapa yang akan menjelaskan mengenai Tuhan. Apakah para ilmuan ataukah agamawan. Tampaknya bila dilihat pada track recordnya, maka ilmuanlah yang paling berhak.
Apa Manfaatnya Tuhan?
Hawking berpendapat kalau sains akan menang terhadap agama karena sains memang berhasil menyelamatkan hidup kita dari dulu. Tapi iman juga demikian, setidaknya bagi orang miskin dan terbelakang. Hasil dari survey di situs ini : http://www.nytimes.com/2010/09/04/opinion/04blow.html?_r=3&ref=opinion Ia menunjukkan kalau Indonesia adalah salah satu negara paling banyak memiliki orang beriman, dan disisi lain, merupakan negara dengan jumlah penduduk miskin yang besar. Bisa jadi agama yang membuat mereka miskin, atau bisa jadi pula kemiskinan yang menjadikan mereka beragama.
Bagi orang yang merasa kemiskinan yang menjadikan mereka beriman, mereka merasa mendapat sebuah lindungan. Saat sakit mereka berdoa dan merasa nyaman, sebuah gejala psikologis. Terlepas dari apakah Tuhan ada ataukah tidak. Di negara yang kaya, saat sakit seseorang tinggal berobat ke dokter dan sains akan menyembuhkannya dengan mudah. Ia tidak perlu berdoa karena merasa yakin sains pasti berhasil menyelamatkannya.
Itulah manfaat Tuhan selama ini. Ia menjadi pengisi celah psikologis, bukan lagi pengisi celah sains. Ia ber evolusi menuju sebuah posisi yang lebih sulit lagi dijamah sains, lewat kendala sumberdaya manusia, ekonomi maupun politik.
Tentang apakah sains membuktikan Tuhan tidak ada, itu kembali pada setiap diri orang beriman. Seperti apa bukti yang mereka inginkan agar sains dapat jelas dalam menunjukkan kalau Tuhan tidak ada.
Sumber :
http://www.facebook.com/note.php?note_id=194902947204550
Baca selengkapnya »
0
Hubungan Agama Dan Ilmu Menurut Einstein
Selama abad yang lalu, dan sebagian abad sebelumnya, tersebar luas pandangan bahwa ada pertentangan yang tidak dapat didamaikan antara ilmu dan agama. Pandangan yang dianut oleh tokoh zaman itu adalah bahwa sudah saatnya iman digantikan oleh pengetahuan. Iman yang tidak bersandar pada pengetahuan adalah takhayul, dan karenanya harus ditolak. Menurut konsepsi ini, fungsi satu-satunya pendidikan adalah untuk membuka jalan kepada pemikiran dan manusia, haruslah memenuhi hanya tujuan itu saja.
Memang amat sulit kita temukan kalaupun ada sudut pandang rasionalistik yang diungkapkan dalam bentuk sekonyol itu; karena setiap orang yang dapat dengan mudah melihat betapa sepihaknya pernyataan itu. Tetapi kita perlu menyatakan suatu tesis secara tajam dan telanjang sama sekali, jika ingin mengetahui hakikat sejatinya.
Adalah benar bahwa keyakinan hanya dapat didukung dengan baik oleh pangalaman dan pikiran jernih. Pada titik ini, kita mesti bersepakat sepenuhnya dengan kaum rasionalis ekstrim. Bagaimanapun, titik lemah ini adalah bahwa keyakinan tersebut yang amat penting dan menentukan perilaku dan penilaian kita tak dapat ditemukan hanya pada wilayah ilmu yang ketat ini.
Ini disebabkan metode ilmiah tidak dapat mengajarkan apa pun tentang bagaimana fakta-fakta berhubungan, dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Pengahargaan kepada pengetahuan objektif harus diberikan kepada orang-orang dengan kemampuan tertinggi yang mengembangkannya, dan saya harap Anda tidak menuduh saya ingin mengecilkan pencapaian-pencapaian dan usaha-usaha heroik dari orang-orang yang bergiat di bidang ini. Namun, sama jelasnya adalah bahwa pengetahuan tentang apa yang sebenarnya tidaklah langsung membukakan pintu bagi apa yang seharusnya. Seseorang dapat memperoleh pengetahuan yang paling lengkap dasn paling jelas tentang apa sebenarnya, tetapi tidak mampu meyimpulkan darinya suatu tujuan dari aspirasi kemanusiaan kita. Pengetahuan objektif melengkapi kita dengan alat ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, tetapi tujuan puncak itu sendiri dan rasa rintu untuk mencapainya harus datang dari sumber lain. Dan hampir tidak perlu memperdebatkan pandangan bahwa kemaujudan dan aktivitas kita memperoleh makna hanya dengan penetapan tujuan seperti itu dan nilai-nilai yang berhubungan dengannya. Pengetahuan tentang kebenaran seperti apa adanya adalah menakjubkan, tetapi hanya sedikit perannya sebagai pembimbing, karena bahkan pengetahuan itu sendiri tak dapat mebuktikan konsepsi yang murni rasional dari kemajuan kita.
Tetapi kita juga tidak dapat mengasumsikan bahwa pemikiran akal tidak dapat berperan sama sekali dalam pembentukan tujuan dan penilaian etis . Ketika seseorang menyadari bahwa untuk mencapai suatu tujuan diperlukan suatu cara, di situ cara itu sendiri sudah menjadi tujuan. Meskipun demikian, berpikir semata tidak dapat suatu kepekaan atau rasa akan tujuan akhir. Bagi saya, inilah tampaknya peranan terpentung yang harus dimainkan oleh agama dalam kehidupan sosial manusia. Yaitu, untuk memperjelas tujuan dan penilaian fundamental ini, dan untuk menancapkannya dalam kehidupan emosional manusia. Dan jika ada yang bertanya, dari otoritas mena kita mesti mendapatkan tujuan fundamental ini –karena tujuan itu tidak dapat dinyatakan dan dijastifikasi hanya oleh nalar–maka jawabannya adalah: tujuan tesebut maujud dalam masyarakat yang seharusnya sebagai tradisi yang kuat, yang mempengaruhi perilaku, harapan-harapan, dan penilaian anggotanya; tujuan iru ada disana, yaitu, sesuatu yang hidup, tanpa merasa perlu menemukan jastifikasi bagi keberadaannya. Tujuan-tujuan itu meujud tanpa melalui pembuktian atau demonstrasi, tetapi melalui semacam pewahyuan, dengan perantaraan pribadi-pribadi tangguh. Tak perlu menjastifikasinya, tetapi yang penting adalah merasakan hakikatnya, secara sederhana dan jernih.
Kini, meskipun wilayah agama dan ilmu masing-masing sudah saling membatasi dengan jelas, bagaimanapun ada hubungan dan ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya. Meskipun agama adalah yang menentukan tujuan, tetapi dia telah belajar dalam arti yang paling luas, dari ilmu, tentang cara-cara apa yang akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Dan ilmuhanya dapat diciptakan oleh mereka yang telah teri-lhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh dari wilayah agama. Termasuk juga disisni adalah kepercayaan akan kemungkinan bahwa pengaturan yang absah bagi dunia kemaujudan ini bersifat rasional, yaitu dapat dipahami nalar. Saya tak dapat percaya ada ilmuwan yang tidak memiliki kepercayaan tersebut. Keadaan ini dapat diungkapkan dengan suatu citra ;
ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta.
Meskipun saya sudah menyatakan di atas bahwa sesungguhnya tak boleh ada pertentangan antara ilmu dan agama, saya mesti menekankan sekali lagi peryataan itu pada titik yang esensial, dengan mengacu kepada kandunagn aktual agama-agama dalam sejarah.
Sumber : http://www.ojimori.com/2011/05/14/hubungan-agama-dan-ilmu-menurut-einstein/
Baca selengkapnya »
0
Mencari Muara Ajaran Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar (SSJ) adalah nama yang tak pernah lekang. Ungkapan itu tidaklah berlebihan, apabila kita mau mencari buku-buku, maupun babad yang pernah diterbitkan. Kepopuleran SSJ di masyarakat setingkat dengan kepopuleran Wali Songo, hanya saja ajaran SSJ dianggap ‘sesat’ lantaran ajaran ‘Manunggaling Kawula Gusti’ (MKG) atau dalam bahasa Arabnya Wahdatul Wujudnya telah melawan syariat agama Islam. Betulkah demikian? Lalu dari mana ajaran SSJ itu bermula?
Tulisan ini hanya akan mendeteksi kesinambungan ajaran MKG bahwa ajaran itu merupakan pengaruh dari ajaran Al Hallaj maupun Ibn Arabi.
SSJ lahir di Cirebon, Jawa Barat. Ia putera seorang raja pendeta. Ayahnya bernama Resi Bungsu 1).( Prof. Dr. Abdul Munir Mulkan, SU, Makrifat Siti Jenar, Grafindo, Jakarta,2005). Nama asli SSJ adalah Ali Hasan alias Abdul Jalil. Mengenai tahun kelahirannya sulit terlacak.
Menurut Agus Sunyoto, pengarang ‘Suluk Malang Sungsang SSJ’, dalam suatu diskusi tentang SSJ menjelaskan bahwa Tarikat Akmaliyah meyakini bahwa guru mereka yang bernama SSJ, memang benar berasal dari Cirebon.
Ada yang unik dalam pengajaran SSJ, karena tidak lazim pengajaran suatu tarikat mengajarkan dua pengetahuan sekaligus, yaitu Qalb dan Aql. Aql adalah pengetahuan analitis yang bertolak dari akal, atau penalaran. Sementara Qalb, seperti umumnya diajarkan pada tarekat-tarekat adalah pengetahuan yang didapat dari intuisi supra-rasional berbagai Realitas Transenden yang berhubungan dengan manusia. Pengetahuan ini bersifat normatif dan nonmaterialistik. Pengetahuan ini berasal dari ‘pengalaman langsung’ yang terkait dengan dzauq (rasa). Ilmu pengetahuan ini dibangun dan dikembangkan di atas tradisi para penempuh jalan ruhani dalam menuju Allah.
SSJ mengajarkan Sasahidan, yaitu faham mistik yang sering dihubungkan dengan ajaran ‘manunggaling kawula-gusti, jumbuhing kawula-gusti, sangkan paraning dumadi yang secara keliru dikaitkan dengan ajaran ittihad, hulul, wahdat al-wujud, istighraq tang panteistik. Padahal ajaran Sasahidan yang disampaikan SSJ adalah faham mistik yang tidak sederhana didefinisan dengan panteistik, monistik dan pantaestik sekaligus jika didefiniskan secara umum.
Di dalam Sasahidan, SSJ mengajarkan Tuhan sebagai Dzat Wajibul Wujud yang ingin diketahui keberadaan-Nya mencipta mahluk dengan pewahyuan Tuhan sendiri melalui tujuh tahap. Ajaran ini disebut martabat tujuh, yang berangkat dari tajalli (penampakan) Tuhan melalui tingkatan-tingkatan atau martabat, dimana pewahyuan Diri dari Yang Satu bertajalli dalam keadaan Bersatu (al Ahadiyah), hal ini bisa dikatakan bahwa Tuhan telah mengungkapkan diri-Nya dalam “keadaan Ketuhanan” (al martabah Ilahiyah). Tingkat pewahyuan diri Diri dari Yang Satu (tajalliyah) itu bertahap menampakkan diri melalui tujuh martabat, yaitu : Martabat Ahadiyah, Wahdah, Wahidiyah, Alam Arwah, Alam Mitsal, Alam Ajsam, dan Insan Kamil.
Salah satu bagian ajaran Sasahidan yang disampaikan SSJ adalah ajaran “Sangkan Paraning Dumadi” artinya asal dari segala ciptaan. Menurut SSJ bahwa pangkal dari segala ciptaan adalah Dzat Wajib al Wujud yang tak terdefiniskan yang diberi istilah “awang uwung” (Ada tetapi Tidak Ada, Tidak Ada tetapi Ada) yang keberadaannya hanya mungkin ditandai oleh kata “tan kena kinaya ngapa” yang disebut dalam Al Quran “Laisa Kamitslihi Syaiun” artinya “ tidak bisa dimisalkan dengan sesuatu). Inilah tahap Ahadiyah. Dari keberadaan Yang Tak Terdefinisikan itulah Dzat Wajib al Wujud Yang Tak Terdefinisikan mewahyukan Diri sebagai Pribadi Ilahi yang disebut Allah. Inilah tahap Wahdah dimana Yang Tak Terdefinisikan mewahyukan diri menjadi Rabb-al Arbab. Dari tahap wahdah ini kemudian mewahyukan Diri sebagai Nur Muhammad. Inilah tahap Wahidiyah dimana yang tak terdefinisikan mewahyukan diri sebagai Rabb. Nur Muhammad ini ini kemudian mewahyukan Diri menjadi semua ciptaan yang disebut mahluk, baik yang kasat mata maupun tidak kasat mata.
Dengan pandangan itu konsep keesaan (tauhid) Ilahi yang diajarkan SSJ tidak bisa disebut wahdatul wujud, karena di dalam doktrin Sasahidan disebutkan bahwa “Dia Yang Esa sekaligus Yang Banyak (al wahid al katsir), Dia adalah Yang Wujud secara bathin dan Yang Maujud secara dhahir, sehingga disebut Yang Wujud sekaligus Yang Maujud (Ad-Dhahir Al Bathin)”.
Dalam perjalanannya mencari ilmu hakikat makrifat, SSJ pernah merantau ke Baghdad, Irak (kira-kira abad 15 - 16 M – itu masa hidupnya). Berdasarkan legenda, menurut Abdul Munir Mulkhan, pola Islamisasi pasca-Demak, sesudah Sultan Hadi Wijoyo yang berkuasa sejak th 1550 hingga tahun 1582 memindahkan kekuasaannya ke Yogya - Surakarta. Konflik pemahaman Islam antara Wali Songo dengan SSJ bisa menjadi petunjuk betapa mengakarnya Islamisasi di Jawa pada abad 15M. Islam di Nusantara lebih diwarnai model sufi daripada model syariah yang lebih terbuka berhubungan dengan tradisi lokal, sistem keyakinan Hindu-Budha dan Jawa.
Sementara itu di Baghdad satu periode sebelumnya Hussayn Ibn Manshur Al Hallaj (857-922), seorang sufi Persia dilahirkan di Thus yang dituduh musyrik oleh khalifah di Baghdad, dihukum bunuh karena ajarannnya. Al Hallaj adalah gelar, asal kata “al Hallaj Al Asrar, yang artinya pembersih hati atau kesadaran. 2) (Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002)
Al Hallaj terkenal dengan ucapannya “Anna Al Haqq” atau Akulah Yang Maha Mutlak” atau “Kebenaran”. Ahmad Ibn Fatik berkata bahwa ia pernah mendengar Al Hallaj berkata “Akulah Yang Maha benar dimana kebenaran itu milik Tuhan dan Aku mengenakan Esensi-Nya sehingga tidak ada perbedaan diantara Kami”, pernyataan itu adalah pernyataan aneh Al Hallaj dibandingkan dengan tokoh lainnya.
Ibn Arabi, yang memiliki nama lengkap Abu Bakar Muhammad Muhyiddin (1165-1240 M), sebagai seorang sufi sekaligus guru Sufi, dipandang sebagai tokoh besar sehingga disebut “Syekh Agung” (Syeikh al Akbar), karena pandai sekali dalam menyusun doktrin metafisis. Ibn Arabi lahir di Spanyol. 3) (Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002). Ibn Arabi mempopulerkan ajaran Wahdatul Wujud dengan mengekspresikannya secara formal. Yang dimaksud wahdat al-Wujud dapat diartikan kesatuan wujud 4). (Drs. Totok Jumantoro MA, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Penerbit Amzah, 2005)
Walaupun doktrin ini disandarkan kepada Ibn Arabi, dalam realitanya merupakan ajaran fundamental dan sangat penting dalam seluruh aliran tasawuf.
Doktrin wahdatul Wujud yang sering disalah tafsirkan dengan pengertian sebuah kesamaan substansi antara alam dan Tuhan, yakni bahwa alam adalah Tuhan yang samar.
Paham Wahdat Al-Wujud diidentikkan dengan pantheistik oleh orientalis. padahal ada perbedaan antara Wahdat Al Wujud dengan Pantheisme. Menurut Ibn Arabi dalam kitab Futtuhad Al Makiyah, bahwa hakikat wujud itu itu hanya satu yaitu Allah, sedangkan wujud yang banyak itu merupakan Ilusi atau bayangan dari Yang Satu itu.
Essential Identification of manifestated order with onto logical principle, sedangkan pengertian pantheisme adalah subsantial identification of universe with God. Dalam pantheisme, jauhar atau esensi Tuhan terdapat dalam setiap yang ada. Menurut konsep ini bahwa wujud segala yang ada ini bergantung pada Wujud Tuhan. Andaikan Wujud Tuhan tidak ada maka wujud selain Tuhan juga tidak ada. Menurut Ibnu Arabi “Maha Suci Allah yang menciptakan segala sesuatu dari dzatNya, sehingga apabila kami melihat-Nya berarti kami melihat diri kami, dan apabila kami melihat diri kami maka kami juga melihat Diri-Nya”.
Manusia adalah hamba Tuhan, karena tuhan beriluminasi secara dzatiyah pada manusia (tajalli dzatiyah) sehingga manusia adalah zat Tuhan, karena itu disebut Insan Kamil atau nuskhat Ilahi. Lebih jelasnya, Ibn Arabi menyatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam, dimana prosesnya sebagai berikut :
Tajalli, dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah. Tanazzul Tuhan di alam ma’ani ke alam ta’ayyunat (realitas rohaniah), yaitu alam arwah yang mujjarat. Tannazul kepada realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berfikir. Tanazzul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal. Alam materi, yaitu alam inderawi.
Kesimpulan :
Masih ada kesinambungan antara ajaran Ibn Arabi dengan ajaran SSJ, mengingat keberadaan SSJ dari prediksi sekitar abad 15atau 16M, sementara Ibn Arabi sekitar abad 11-12M, dan Al Hallaj abad 9M, maka ada kemungkinan SSJ terpengaruh oleh ajarannya Ibn Arabi ataupun Al Hallaj. Hanya saja ajaran SSJ dipraktekkan oleh pengikutnya di sana-sini secara rahasia dan berkesinambungan. Untuk kebenarannya, hanya Allah saja yang Maha Tahu segalanya.
Salam,
Bibliography :
1) Prof. Dr. Abdul Munir Mulkan, SU, Makrifat Siti Jenar, Grafindo, Jakarta,2005
2) Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
3) Drs. Totok Jumantoro MA, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Penerbit Amzah, 2005
4) Agus Sunyoto, Makalah Diskusi SSJ, 2007
Baca selengkapnya »
0
Kritik Einstein Atas Ketuhanan Plato
Sejak zaman Yunani Kuno, peradaban umat manusia telah mulai menemukan identitasnya. Proyek pencarian akan eksistensi Tuhan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perbincangan sehari-hari para ahli filsafat di negeri para dewa itu. Pada awalnya orang Yunani Kuno secara mitodologi mengenal banyak dewa yang diyakini sebagai Tuhan yang mengatur alam semesta. Namun, bersamaan dengan semakin berkembangnya alam berpikir orang Yunani Kuno, mitos-mitos para dewa yang menjadi sebuah doktrin warisan turun temurun, mulai runtuh dan tergantikan oleh doktrin yang lebih rasional-empiris. Doktrin inilah yang diusung oleh para ahli filsafat di Yunani.
Mengungkap kembali persoalan filsafat yang disinggung oleh para ahli filsafat Yunani Kuno, di antaranya adalah Plato. Persoalan filsafat inilah yang kemudian juga menarik perhatian sosok manusia jenius di abad 20, yakni Albert Einstein. Kedua sosok manusia ini adalah mereka yang dipercaya memiliki peran sangat penting dalam perjalanan sejarah umat manusia. Anggapan bahwa kedua tokoh ini (Plato dan Einstein), penting dikarenakan dari keduanya memang telah banyak lahir teori-teori baru yang turut membawa arus perubahan dalam peradaban manusia.
Adalah Plato, seorang filosof dari Athena di zaman Yunani Kuno, mulai mengenalkan alam berpikir baru tentang realitas kebenaran abadi. Bagi Plato, di alam semesta ini terdapat sesuatu yang kekal dan abadi. Dengan demikian, eksistensi para dewa dipertanyakan kembali. Apakah para dewa memiliki kekekalan dan keabadian sebagaimana yang dimaksud oleh Plato?. Untuk menjawab pertanyaan ini, Plato juga tidak dapat menggambarkan secara spesifik. Namun, ketika ia mulai mengalihkan perbincangan terkait dengan para dewa dengan menyebut entitas baru, yakni Tuhan. Ia menggambarkan sosok Tuhan sebagai sosok yang niscaya tetap memiliki kekuatan untuk melakukan segala sesuatu. Dengan keadaan niscaya, Tuhan tidak dapat berbuat apapun selain dari yang ia lakukan.
Penjelasan tentang sosok Tuhan di atas yang masih rancu, terkesan amat sulit untuk dipahami oleh siapapun. Tentunya penjelasan Plato telah memantik reaksi yang beragam dari berbagai kalangan, tak terkecuali oleh Albert Einstein. Dalam konteks inilah, Einstein, seorang pemikir, seorang ahli fisika, ahli matematika dan ahli astronomi mengkritisi pemikiran Plato. Bagaimanapun, secara implisit Plato telah dianggap membatasi kekekalan dan keabadian Tuhan dengan membatasi perbuatan-Nya. Apalagi ketika Plato memiliki pemikiran bahwa bumi, matahari, bulan dan bintang tidak akan berubah, akan tetap seperti keadaan semula. Dengan kata lain, semua itu dianggap oleh Plato memiliki “keabadian”. Tak ayal, Einstein menolak secara tegas pemikiran-pemikiran yang demikian.
Menurutnya, berdasarkan pengamatannya terhadap alam semesta, utamanya terhadap bintang-bintang di angkasa raya ini, semuanya mengalami perubahan, tidak ada yang kekal dan abadi. Langit mengalami pengembangan, bintang yang semula bersinar seperti matahari, pada suatu saat akan padam.
Dari penjelasan di atas, penemuan-penemuan Einstein jelas bertentangan dengan teori Plato yang mengatakan bahwa alam semesta itu kekal dan abadi. Adapun teori Plato tentang entitas Tuhan, Einstein juga tidak dapat menerimanya, bahkan ia terkesan menentang teori itu. Bagi Einstein, pendapat Plato seringkali tidak sesuai dengan logika dan jalan pemikirannya. Oleh karenanya, ketika Einstein tidak menemukan kebenaran pada filsafat Plato, ia mulai mencari jawabannya lewat penelitian dalam bidang sains. Di dunia sains inilah Einstein percaya bahwa kebenaran abadi akan terbuktikan secara ilmiah. Einstein sebagai seorang ahli fisika dan matematik, memang selalu berpikir secara rasional terhadap segala masalah yang dihadapinya, termasuk masalah filsafat. Namun, persoalan yang masih belum dapat ditemukan jawabannya, adalah masalah terkait dengan sosok Tuhan.
Ketika menggambarkan sosok Tuhan, Einstein juga menemukan kesulitan yang sama sebagaimana dihadapi Plato. Tuhan memang tidak mungkin untuk dibuktikan secara kongkrit. Mengutip pendapat Karen Armstrong dalam bukunya “Sejarah Tuhan”, pada mulanya manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi dan Dia tidak terwakili oleh gambaran apapun.
Dalam konteks inilah, jelas bagi kita bahwa Tuhan memang tidak mungkin digambarkan secara nyata. Oleh karenanya, tak salah jika Einstein pernah melontarkan kata-kata “Kini aku tahu, Tuhan berada di Surga”. Sementara Plato, ia tetaplah seorang filofof yang pola berpikirnya tidak mungkin terlepas dari mitos-mitos yang ada di masyarakat Yunani Kuno.
Albert Einstein mendeskripsikan kepercayaan terhadap Tuhan sebagai “takhayul yang kekanak-kanakan”. Ilmuwan besar fisika ini juga mengatakan umat Yahudi bukanlah orang-orang terpilih. “Bagi saya, agama Yahudi seperti lainnya adalah penjelmaan dari takhayul yang kekanak-kanakan,”
Pola berfikir yang berbeda di atas, baik berpikir ala Plato maupun Einstein, setidaknya dapat dipergunakan sebagai alat pembanding dalam mitodologi berpikir filsafat. Sebab bagaimanapun, Plato dan Einstein memiliki model berpikir filsafat yang relevan dengan konteks zaman dan bidang kajian keilmuan yang mereka tekuni masing-masing. Dengan demikian, berfikir dan berfilsafat ala Plato dan Einstein tetaplah menarik untuk dikaji dan diperbincangkan sebagai sebuah landasan berfikir sebelum kita mengenal alam berpikir para filosof lainnya.
Yahudi, yang menggambarkan Tuhannya sebagai personal, atau Tuhan yang mempunyai kepribadian layaknya manusia. Kata Einstein, Tuhan tidak bisa direduksi menjadi mirip dengan manusia. Baginya, Tuhan tetaplah impersonal, realitas yang tidak ditemukan persamaannya sama sekali dengan manusia dan yang tampak kepada manusia.
Menurutnya, ide Tuhan personal tidak rasional. Begitu pun, dia tidak sepakat dengan argumen agama Kristen yang menyatakan Tuhan terdiri dari tiga komposisi atau Trinitas. Tuhan, bagi Einstein, harus satu, karena kalau tidak, akan terjadi distorsi mekanis dalam sistem otoritasnya terhadap alam raya. Sama dengan Tuhannya Yahudi, Tuhan Trinitas, bagi Einstein, juga tidak dapat diterima secara rasio.
Lalu, bagaimana Enstein merumuskan “Tuhannya”? Tidak bisa lepas dari profesinya sebagai seorang saintis, Enstein berargumen bahwa Tuhan bisa ditemukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan sains, khususnya matematika dan fisika. Alam raya, baginya, merupakan bentangan realitas yang bisa dipahami dengan menggunakan rumus-rumus matematis. Begitu pun Enstein percaya bahwa Tuhan dalam diri-Nya juga bisa dipahamai lewat pendekatan semacam itu. Tuhan Einstein merupakan pencipta tatanan dengan hukum-hukumnya yang tak tergoyahkan. Da kemudian mencoba mengkodifikasikan Tuhannya ke dalam sebuah agama kosmis yang menolak Tuhan personal sebagaimana Yahudi mengajarkannya, dan Tuhan Trinitas milik Kristen. Agama kosmis ini berbeda dengan agama konvensional, karena tidak ada ritual di sana, tidak ada doa, tidak ada pembalasan, sebagaimana Enstein yakini, kecuali bahwa Tuhan telah diredusir menjadi sekedar fungsi matematika. Di sinilah timbul perdebatan apakah Enstein seorang yang betul-betul mencari Tuhannya dengan ketulusan seorang saintis, atau memang seorang saintis-rasionalis yang menukar keyakinannya dengan ide-ide tradisional tentang Tuhan.
Einstein berkata, Ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman. Tetapi, sumber perasaan itu berasal dari tataran agama. Termasuk di dalamnya adalah keimanan pada kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada dunia wujud itu bersifat rasional. Artinya, dapat difahami oleh akal. Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuwan sejati yang tidak mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu. keterangan ini dapat diungkapkan dengan gambaran: ilmu pengetahuan tanpa agama adalah lumpuh, dan agama tanpa ilmu pengetahuan buta. Bagi Einstein, tidak terbayangkan ada ilmuwan yang tidak punya keimanan yang mendalam. makin jauh kita masuk pada rahasia alam, makin besar pula kekaguman dan penghormatan kita pada Tuhan.
Pendapat Einstein, mengenai adanya Tuhan. Sosok Tuhan menurut Einstein adalah Tuhan yang impersonal, bukan Tuhan yang personal. Artinya, Tuhan adalah sosok yang tidak sama dengan manusia, tidak sama dalam hal segalanya, baik berupa fisik maupun sifat. Karena jika Tuhan sama dengan manusia, berarti Tuhan itu lemah, padahal, menurutnya, Tuhan adalah sosok yang kuat. “Bagaimana Tuhan dapat menciptakan alam seisinya jika Tuhan itu sendiri lemah?”, itulah yang ada dalam otak Einstein.
menganggap Einstein sebagai seorang ateis, karena dianggap tidak mempercayai adanya Tuhan. Tetapi, banyak juga yang sepakat dengan pendapat Einstein, mengenai adanya Tuhan. Sosok Tuhan menurut Einstein adalah Tuhan yang impersonal, bukan Tuhan yang personal. Artinya, Tuhan adalah sosok yang tidak sama dengan manusia, tidak sama dalam hal segalanya, baik berupa fisik maupun sifat.
Konsep Einstein :
Karena pada waktu belajar agama yahudi dan katolik Einstein dibayang-bayangi sosok Tuhan seperti “manusia” yang tersirat dari ayat-ayat dalam kitab injil sbb :”Ketika mereka mendengar bunyi langkah tuhan Allah…”(Kejadian, 3:8)“Ditulis dengan tangan Tuhan”(Injil Eksodus,31:18).
Kemudian Einstein berkomentar “Sungguh tidak masuk akal! Sangat Naif, kok tuhan dipersonalkan”kata-kata einstein tersebut membuat vatikan kegerahan, padahal einstein adalah keturunan yahudi yang juga mendapat ilmu agama katolik selagi berada di bangku sekolah. Menurut einstein taurat dan injil tidak dapat ia terima dengan logika. Baginya ‘TUHAN’ tidak dapat dipersamakan dengan manusia. Terlebih dengan adanya konsep trinitas yang dikatakan sama dengan monotheisme, bagaimana mungkin? trinitas atau Tuhan Bapak + Tuhan anak + Roh Kudus = Tuhan yang esa.
Bagaimana mungkin 1 + 1 + 1 = 1?? Sekali lagi pemikiran yang berlandaskan logika atau matematika tersebut benar. Pernyataan bahwa Tuhan mempunyai anak seperti yang terdapat dalam kitab taurat dan injil telah disanggah Einstein.
Sumber : Jurnalnet.com (4 April 2008)
Baca selengkapnya »
0
Agama dan Rokok

Ada suatu paradoks yang terjadi di masyarakat Indonesia yang bermayoritas Islam bahwa antara nilai-nilai etika kehidupan yang terkandung dalam Islam dan tindakan-tindakan sosial masyarakat Indonesia yang tercemin dalam etos, masih menunjukan hubungan kontradiktif. Realitas sosial memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia lebih cenderung mencirikan sikap perilaku yang malas, kurang cerdas, dan tidak jujur ditandai dengan merebaknya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Perilaku yang menunjukan kontradiktif tersebut telah membawa bangsa Indonesia kejurang kenistaan, tidak dihargai di mata dunia internasional.
Dalam menjelaskan fenomena ini, kita teringat akan pendapat Karl Marx yang memandang bahwa agama sebagai “candu masyarakat”. Marx memandang agama sebagai “candu masyarakat” yang pada akhirnya membawa aliran komunis sangat anti agama. Namun kita tidak pernah memahami apakah gerangan yang membuat Marx berpendapat bahwa agama sebagai “candu masyarakat”, karena perasaan benci yang tak terhingga terhadap ajaran komunis akibat dari penanaman suatu bentuk doktrim oleh para penguasa era lampau di negara ini.
Kritikan Marx terhadap agama lebih diarahkan kepada pemahaman ajaran agama tradisional, ia berpendapat bahwa tekanan agama tersebut pada penderitaan dan kesulitan hidup akan memberikan nilai rohani yang positif jikalau di tanggung dengan sabar, bahkan akan memperbesar individu untuk memperoleh pahala di alam baka. Seperti halnya kekayaan materiil, status duniawi, dan kekuasaan merupakan sebagai ilusi, fana dsb. Jika sikap ini diterima oleh kelas-kelas lapisan bawah yang dengan sungguh-sungguh menerima hal ini, maka makin mengukuhkan sikap pasrah dan pasif sehingga tidak akan terjadinya peningkatan taraf kesejahtraan, dan kemiskinan akan terus berlangsung bagi lapisan bawah.
Agama Islam di indonesia berasal dari golongan Jabariah yang diwakili oleh kaum-kaum Sufi. Aliran ini berpendapat bahwa segala sesuatu telah ditakdirkan oleh Tuhan, manusia tidak memiliki daya dan upaya kecuali menerima dan mengimani apa yang telah Tuhan berikan. Pengajaran agama ini ditekankan kepada pelajaran “fiqh” yang membahas sayarat-syarat dalam beribadah, alhasil, agama dipahami hanya sebatas ritual, zikir, berpuasa, shalat, dan zakat yang lebih cenderung menjauhkan diri dari kehidupan duniawi. Ajaran Islam seperti inilah yang dianggap Marx sebagai ajaran agama tradisional, dan biasa disebut juga sebagai ajaran asketis.
Rupanya masyarakat Indonesia juga sudah berada dalam jangka waktu cukup lama terbuai oleh ajaran-ajaran agama asketis dalam konteks sufisme, yang berorientasi ke akhiratnya lebih tinggi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keduniawian diharamkan. Harta, uang, dan segala bentuk duniawi dianggap sebagai ujian yang bisa meracuni keimanan. Takdir dipahami sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah, kita hanya bisa menerima dengan sabar, sebab dengan demikian akan menambah dan memurnikan nilai keimanan rohani. Di sisi lain, perkembangan masyarakat sudah berada pada tatanan masyarakat yang global, terbuka dan sangat bergantung pada iptek. Agama yang dipahami secara asketis tidak lagi memberikan tuntunan nilai yang bisa membawa kita terhadap realitas sosial yang terjadi.
Dalam kondisi ini Marx sangat cocok menempatkan bahwa agama sebagai “candu masyarakat”. Dan juga dianggap sebagai pembatas untuk mencapai kehidupan duniawi yang lebih maju. Agama tidak ubahnya seperti “rokok” bagi masyarakat pecandu. Dimana, bagi pecandu, rokok merupakan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dan tidak bisa ditinggalkan. Tetapi dalam kehidupannya tidak memberikan kebaikan bagi dirinya maupun bagi masyarakat disekitarnya. Namun, hal tersebut terlalu menyakitkan jika dikatakan demikian, sebab masyarakat Indonesia sebetulnya masih sangat membutuhkan dan taat dalam beragama.
Berbeda dengan agama protestan yang merupakan stimulus kuat dalam menumbuhkan sistem ekonomi kapitalis dalam tahap-tahap pembentukannya. Pengaruh yang meransang ini dapat dilihat sebagai suatu konsistensi logis dan motivasional yang bersifat mendukung secara keseluruhan, baik dari aspek luar dan dalamnya. Sebab, kondisi bangsa Eropa saat itu sedang mengarah kepada budaya kapitalis.
Atas dasar itulah, Asketisme telah mendukung masyarakat Indonesia malas, pasrah dan tidak kreatif. Di lain pihak secara riil masyarakat telah memiliki budaya-budaya yang malas sebelumnya, akibat pengaruh lingkungan alam, perkembangan intelektual, penjajahan dan ketidakmampuannya dalam mengikuti perkembangan zaman. Sistem perekonomian rakyat yang bersifat statis dan tidak mungkin beralih menjadi sistem perekonomian yang dinamis, karena agama adalah nomor satu, sedangkan perekonomian bertekuk lutut kepada agama. sifat masyarakat inilah yang membuat mereka miskin. Oleh karena itu, penanaman modal rasional agama seyogyanya dapat dimulai dan dikembangkan dalam bidang pendidikan. Karena, motivasi-motivasi spiritual harus dijadikan sebagai alat pendorong generasi muda agar belajar lebih giat, kerja keras, berorientasi kepada prestasi dan nilai-nilai positif lainnya. Karena, nasib manusia akan menjadi orang pintar atau bodoh sangat bergantung kepada usaha manusianya itu sendiri, bukan karena takdir Illahi. Melalui pemahaman rasional diharapkan agama dapat menjadi motivator ke arah terbentuknya budaya-budaya positif yang juga bersumber dan didukung oleh budaya-budaya tradisional.
Sehingga akan terjadi hubungan timbal balik yang saling ketergantungan antara motivasi spiritual dengan budaya masyarakat Indonesia yang saat ini sebenarnya sangat memerlukan suatu dukungan dari masyarakat Indonesia itu sendiri agar menjadi negara yang bisa bersaing dengan negara-negara lainnya tanpa menghilangkan peran agama dalam membangun masyarakat statis menjadi masyarakat yang dinamis di era abad ke-21 ini.
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/1873938-agama-dan-rokok/#ixzz1NrSPmbEY
Baca selengkapnya »
0
Khilafah vs Demokrasi
Sejak keruntuhan Khilafah pada 28 Rajab 1342 H, 89 tahun lalu, bisa disebut hampir sebagian besar Dunia Islam mengadopsi sistem demokrasi. Harapannya, sistem demokrasi akan membuat Dunia Islam lebih baik, ternyata tidak. Dunia Islam tetap saja mengidap berbagai persoalan yang akut seperti kemiskinan, kebodohan, pembantaian dan konflik yang berkepanjangan.
Di sisi lain, arus besar untuk kembali ke sistem Khilafah semakin menguat. Ada pernyataan berulang: Demokrasi memang tidak sempurna, tetapi sampai saat ini merupakan sistem terbaik untuk melawan sistem totaliter. Muncul pula pertanyaan berulang: Kebaikan apa yang ditawarkan sistem Khilafah untuk menggantikan sistem demokrasi? Bisakah sistem Khilafah mewujudkan harapan-harapan manusia yang gagal diwujudkan demokrasi? Kita tentu menjawab dengan tegas: sistem Khilafah pasti mampu.
Pertama: menjamin kebenaran yang hakiki. Demokrasi telah gagal dalam hal ini. Klaim suara rakyat adalah suara Tuhan dan menganggap suara mayoritas rakyat adalah suara kebenaran tidak terbukti. Bagaimana suara mayoritas rakyat Amerika bagian utara yang melegalkan perbudakan pada abad ke-19 dianggap benar. Demikian juga, sulit diterima sebagai sebuah kebenaran ketika mayoritas wakil rakyat lewat proses demokrasi melegalkan penghinaan terhadap manusia apalagi manusia yang mulia seperti Rasululllah saw., perkawinan homoseksual dan lesbian. termasuk serangan terhadap Irak, Afganistan yang telah membunuh ratusan ribu orang yang dilegalkan lewat suara mayoritas rakyat.
Adapun Islam menawarkan sebuah sistem yang sempurna karena berasal dari Zat Yang Mahasempurna, yaitu Allah SWT. Memang, mungkin saja terjadi penyimpangan dari pelaksaan sistem yang sempurna ini. Namun, dari segi sumbernya sistem Khilafah ini adalah yang terbaik. Sebaliknya, demokrasi sejak dasarnya saja sudah bermasalah ketika kebenaran diserahkan kepada manusia.
Kedua: memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpendapat, memilih pemimpinnya sendiri, berekspresi, mengkritik sesuatu yang keliru. Demokrasi memang mengklaim telah memenuhi seluruh harapan ini. Namun, nilai-nilai liberal kemudian menjadi pilarnya. Akibatnya, kebebasan yang ditawarkan menjadi kebablasan dan mengancam masyarakat sendiri. Bukankah atas dasar kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul, kelompok-kolompok homoseksual dan pelaku-pelaku pornografi menginginkan eksistensinya diakui? Ahmadiyah, Lia Eden, dan aliran sesat lainnya pun minta diakui dengan berdalih pada kebebasan?
Di sisi lain, kebebasan yang ditawarkan demokrasi mengidap penyakit hipokrit (standar ganda). Mengklaim kebebasan beragama tetapi melarang pemakaian cadar, jilbab, atau burqa di Eropa. Klaim menghargai pilihan rakyat, tetapi menghadang kemenangan FIS di Aljazair dan Hamas di Palestina, yang sebenarnya menang secara demokratis. Boleh menghujat Nabi Muhammad sekalipun, tetapi siapa pun yang mempertanyakan kebenaran holocaust dikriminalkan. Sudah pula menjadi rahasia umum, terdapat pengekangan terhadap media baik lewat sensor internal pemilik modal media ataupun pemerintah.
Sebaliknya, sistem Islam memberikan ruang bagi masyarakat seluas-luasnya, namun tetap dalam kerangka hukum syariah yang menjadi standar acuan. Dalam sistem Khilafah, kepala negara atau Khalifah dipilih oleh rakyat dengan berdasarkan keridhaan mereka. Mengkritik penguasa yang menyimpang dalam Islam bukan hanya hak, tetapi sekaligus merupakan kewajiban. Pahala sangat besar pun diberikan kepada mereka yang syahid mengkritik penguasa dengan sebutan sebaik-baik jihad (afdhal al-jihad) dan pemimpin para syuhada.
Terdapat juga Mahkamah Mazhalim yang akan menyelesaikan persengketan antara rakyat dan penguasa, kalau rakyat menganggap kebijakan penguasa telah merugikan mereka. Mahkamah Mazhalim juga akan meluruskan keputusan-keputusan Khalifah yang bertentangan dengan hukum syariah.
Adapun Majelis Ummah, tempat tokoh-tokoh yang merupakan representasi dari masyarakat, bisa mengkritik penguasa atau memberikan masukan kepada Khalifah (musyawarah).
Perbedaan pendapat selama masih berlandaskan pada hukum syariah juga dibolehkan dalam Islam. Meskipun Khlifah bisa jadi mengadopsi salah satu pendapat Imam mazhab dalam pemerintahannya untuk diterapkan, perdebatan ilmiah tentang itu tetap saja dibiarkan. Inilah yang membuat dalam sistem Khilafah muncul berbagai mazhab, sebagai cerminan dari pengakuan perbedaan pendapat ini.
Ketiga: menjamin hak-hak mendasar manusia. Ini adalah sesuatu yang gagal dipenuhi oleh sistem demokrasi. Praktik pelanggaran HAM terbanyak dan terbesar justru dilakukan oleh negara-negara kampiun demokrasi seperti AS dan Inggris. Sebaliknya, penerapan syariah Islam akan menjaga nyawa manusia, keturunan, harta dan kehormatan. Di antaranya dengan menjatuhkan sanksi yang keras bagi pelaku pembunuhan, pencuri, pezina dan laon-lain.
Keempat: menjamin kepastian hukum dan persamaan di depan hukum. Syariah Islam yang akan diterapkan oleh Khilafah menjamin hal ini bagi seluruh warga, baik Muslim maupun non-Muslim. Rasulullah saw. menolak makelar hukum yang menginginkan agar perempuan bangsawan tidak dihukum. Rasulullah saw. dengan tegas mengatakan kalaupun anaknya Fatimah mencuri, beliau akan memotong tangannya. Khalifah Ali bin Thalib pernah kalah ketika memperkarakan seorang Yahudi dengan tuduhan telah mencuri baju perangnya. Saat itu hakim menilai Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak memilik saksi yang bisa diterima oleh hukum.
Kelima: membuat kebijakan yang pro rakyat. Demokrasi gagal mewujudkan hal ini. Sistem demokrasi telah melahirkan hubungan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pemilik modal yang merugikan rakyat. Akibatnya, muncullah kebijakan elit politik yang lebih pro kepada pemilik modal daripada rakyat. Industrialisasi politik, politik transaksional, pragmatisme politik dan suap-menyuap merupakan penyakit kronis demokrasi.
Sebaliknya, Khilafah melalui syariah Islam akan menutup pintu kejahatan ini. Dalam bidang ekonomi syariah Islam juga menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Barang tambang yang melimpah (emas, perak, minyak dll), air, hutan dan listrik merupakan milik umum yang digunakan untuk kepentingan rakyat; tidak boleh diberikan kepada swasta atau individu. Dengan cara seperti ini Khilafah akan mensejahtrakan masyarakat, yang gagal diwujudkan oleh sistem demokrasi.
Walhasil, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menerima sistem Khilafah yang akan mewujudkan harapan-harapan manusia. Selain itu, karena menegakkan Khilafah adalah kewajiban agama kita. Kalau ada sistem yang sempurna, mengapa kita tidak mengambilnya? [Farid Wadjdi]
Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2010/07/11/khilafah-vs-demokrasi/
Baca selengkapnya »
Langganan:
Postingan (Atom)